Selasa, 26 Juni 2007

Melihat Geliat Perbukuan Kota Pelajar

–Oleh: Faris Alfadh*

Pada tanggal 11-18 Mei 2007 lalu, geliat Yogyakarta sebagai kota pendidikan kembali dimeriahkan dengan perhelatan Festival Buku (Book Fair). Pameran bertema “Segalanya Mungkin Dengan Buku” tersebut diselenggarakan oleh Buka Buku Production di GOR Universitas Negeri Yogyakarta, dan didukung lebih dari 200 penerbit.
Event pameran seperti ini memang bukanlah yang pertama di tahun 2007. Beberapa hari sebelumnya, pameran serupa juga digelar di Jogja Expo Centre, serta Gedung Mandala Bakti Wanitatama di Jl. Marsda Adisucipto. Bisa dibilang Pameran Buku sudah menjadi rutinitas Jogja–yang terkadang dalam sebulan pelaksanaannya bisa dua sampai tiga kali.
Selain dikarenakan banyaknya penerbit; major maupun indie, serta didukung penulis-penulis prolifik, faktor yang semakin mengukuhkan landmark Jogja sebagai kota pendidikan (pelajar) adalah event-event pameran buku yang rutin diadakan. Biasanya moment seperti ini selalu menyedot perhatian para pelajar, mahasiswa maupun masyarakat umum. Nuansa khas inilah yang sedikit membedakan Jogja dengan kota-kota “pelajar” lainnya.
Mengamati para pengunjung pameran, yang datang terbilang fariatif. Ada yang karena memang niat membeli buku, ada yang hanya mencari buku-buku murah ataupun memburu buku-buku lama (langka), ada juga yang sekedar datang jalan-jalan sambil ngeceng. Yang jelas event Pameran Buku di Jogja selalu membeludak. Dalam sehari ratusan exemplar buku bisa terjual. Tentu, publikasi dan format acara sangat menentukan dalam menjaring pengunjung. Biasanya yang selalu dinanti para pengunjung adalah buku-buku murah dengan diskon gede-gedean.
Harus saya akui, buku-buku denga penawaran harga murah memang menggiurkan dan menjadi daya tarik tersendiri sebuah pameran. Terutama para pelajar dan mahasiswa yang kondisi kantongnya terbatas.
Selama diadakannya beberapa pameran buku di Jogja, ada hal menarik yang saya amati, yakni munculnya fenomenea Yusuf Agency. Di antara sekian banyak stand yang ada, saya selalu mendapatkan stand Yusuf Agency yang menawarkan buku-buku murah, dengan kualitas yang tidak kalah. Harga yang ditawarkan begitu murah, berkisar antara Rp 5.000 hingga Rp 20.000. Menariknya, Yusuf Agency, tidak seperti stand-stand lainnya yang tertata, dengan pengaturan buku yang rapi. Ia membiarkan saja buku-bukunya “berserakan” dan disusun bertumpuk-tumpuk sesukanya. Pengunjung dibiarkan membongkar sendiri buku-buku yang mereka cari. Seolah mereka berada dalam labirin pengetahuan.
Tetapi karena harga yang begitu murah, pengunjung rela saja berlama-lama duduk, jongkok maupun berdiri membongkar-bongkar tumpukan buku yang ada. Teman saya yang kebetulan ikut memburu buku-buku murah kemudian mengatakan, “justru di sinilah letak seni membeli buku”.
Buku-buku yang ditulis penulis prolifik seperti Khaled Abou El Fadl, Edward W Said, Jefrey Lang, Farid Esach, Jean Paul Satre, Anthony Giddens hingga Abdul Munir Mulkhan, dijual relatif murah. Buku yang seharusnya di pasaran mencapai Rp 30.000 sampai Rp 60.000, dijual Yusuf Agency hanya dengan Rp 10.000 hingga Rp 20.000. Betapa menggiurkan! Pak Yusuf, sang pemilik, mengaku memiliki rahasia tersendiri kenapa buku-buku yang ia jual bisa begitu murah.
Namun fenomena Yusuf Agency dengan buku-buku murahnya bukannya tidak menimbulkan dilema. Pembeli buku terutama para bookaholic tentu diuntungkan. Tetapi tidak demikian dengan para penulis. Bayangkan saja, karya yang mereka hasilkan dengan susah payah harus dijual sedemikian murahnya. Tentu tidak menyenangkan. Namun inilah fenomena perbukuan kita.
Keberhasilan Jogja dalam menyelenggarakan setiap event pameran selama ini, selain dikarenakan diskon buku besar-besaran, juga tidak terlepas dari format acara yang dikemas menarik, asyik dan renyah. Book Fair pada 11-18 Mei lalu juga demikian. Selain berbagai jenis lomba, Bedah Buku, dan Talkshow, pameran tersebut juga dimeriahkan banyak artis untuk mengisi Seleb Talk, seperti Baim Wong, Melani Subono, Andre Hehanusa, Moamar Emka, Happy Salma, Ira Wibowo dan Katon Bagaskara.
Sayang, Book Fair yang diselengarakan di lingkungan akademis tersebut sedikit tercoreng dengan adanya diskriminasi terhadap kehadiran Merlyn Sopian, mantan Miss Waria Indonesia 2006. Penulis buku Perempuan Tanpa V itu sebenarnya dijadwalkan hadir dalam Talkshow dan jumpa penulis pada rabu malam 16/5. Tetapi ia mendapat larangang dari pihak kampus dengan alasan yang “tidak jelas”.
Kita perlu menyadari bahwa sejarah dunia adalah sejarah buku, berbagai perubahan yang terjadi banyak dilahirkan dari buku. Buku menjadi indikator kemajuan dan jendela peradaban sebuah bangsa. Maka upaya melestarikan budaya membaca buku harus tetap kita dukung bersama.
*Faris Alfadh
Mantan Ketua IKPI Jogja