Minggu, 16 September 2007

sebuah buku karya anak al ikhlas

"DALAM beberapa tahun terakhir ini, bermunculan penulis dari generasi muda. Pemikiran-pemikiran kalangan muda tersebut membahas berbagai aspek, baik yang menyangkut pemikiran keislaman, maupun hal-hal yang bersifat umum.
Di antara pemikiran-pemikiran tersebut terdapat pula yang bersifat kritis, yang kadang menggugat khazanah pemikiran lama. Sebagai sebuah wacana, tentu saja setiap pemikiran memiliki hak untuk tumbuh dan mekar di ruang publik. Namun yang jelas, pemikiran apapun termasuk pemikiran kritis selalu harus terbuka pada kritik itu sendiri, sehingga terjadi dinamika pemikiran.
Buku Muhammad Faris Alfadh ini, kiranya patut diberi apresiasi atau penghargaan. Ia tampil untuk meramaikan wacana berbagai aspek kehidupan yang terjadi. Sebuah keberanian untuk mempublikasikan hasil refleksi, tanpa canggung sebagaimana lazimnya kaum muda."
DR. H. Haedar Nashir, M.Si.
Ketua PP Muhammadiyah
Pada Pengantar Buku INCUNABULA, Muhammad Faris Alfadh
_________________________________________________

Teman-teman, Ini adalah buku karya salah seorang anggota IKPI Jogja, Muhammad Faris Alfadh. Pengantarnya dari DR. Haedar Nashir, M.Si. Ketua PP Muhammadiyah.Sekarang bukunya sudah naik cetak. Insyalah minggu depan sudah launcing! Acara launcingnya diadakan di Kampus penulisnya, UMY. Rencananya, launcing tersebut akan diadakan dengan format Bedah Buku, yang akan menghadirkan beberapa tokoh untuk membedahnya. Bagi anggota IKPI Jogja, silahkan hadir! Info tempat dan kapan acaranya, menyusul. Tapi yang jelas minggu depan, sambil berbuka puasa. Gratiss!!!Jangan lupa beli and baca ya! Judulnya INCUNABULA; Anak Muda Mengubah Sejarah Lewat Kata-kata.

Selasa, 21 Agustus 2007

syukuran wisuda

Tahun ini, keluarga Ikpi Jogja banyak yang berbahagia. Soalnya, banyak di antara mereka yang alhamdulilah telah diwisuda dan insyaallah akan diwisuda. semoga stelah diwisuda, mereka bisa memberikan sedikit dari ilmu yang telah mereka dapatkan untuk kemajuan kehidupan.

Dunia ini membutuhkan anak-anak muda yang memiliki perspektif dan pandangan hidup maju. semoga melalui pendidikan tinggi yang mereka tempuh bisa memberi sedikit enlightning, baik untuk mereka sendiri maupun ummat. Mereka yang telah diwisuda tahun ini (dan juga tahun sebelumnya), antara lain: Sri Adekayanti, Muhammad Rifki Fahmi, Henny Anita Hasyim Salengke, Milla Laras, Miftahurrahmi, Naning Setiawati, Eva, dan Abdul Azies. sementara yang akan diwisuda akhir tahun ini: Roswati, Ifan Supriadi, dan Taqdir Maesan Anorawi.

Selamat Wisuda ya!!!!

Yang mau ngelamar kerja moga cepet dapat kerja, yang mau ngelanjutin kuliah moga dipermudah, yang mau nikah moga cepet dapat jodoh, yang mau jadi Kades juga moga sukses kampanyenya,
he-he-he...

Oya, pertengahan bulan Juli lalu, salah seorang yang sudah diwisuda (M. Rifki Fahmi), ngadakan syukuran. Makan-ma
kan bo!!!

Akhirnya anak-anak Ikpi Jogja memilih tempat makannya di Pantai Depok, tempatnya di selatan Jogja. Pantainya Oke banget; n untuk makan, ikan-ikannya pilih sendiri euy... enak banget pokonya. bahasa Jogjany
a: ueenak tenan poko'ee! Acaranya seru, n asyik abieezzz. Mau?

Nih dia foto-fotonya, (tapi maaf, agak narsis memang):1. Ikannya pilih sendiri lho. "sekilonya berapa bu?"
2. Semua yang dipesan habis wak...
3. Emang, kalo lagi makan, semua pada berebut.
4. Masih kurang mas...??!!


1. Ega, Heru, Ardi, Aziez "n Faris berpose ala cover boy... keren kan?
2. Selepas makan, semua pada protes ke Rifki. bukan karena gak kebagian,tapi kurang banyak katanya...
3. Khaerunnisa', Asmayanti, kayanya sih lagi sms, (serius banget..)
Henny "n Yuly, lagi menikmati udara pantai yang adu hai...
4. Nih dia, cah-cah Ikpi Jogja. yang narsis abiez, pastinya.

Senin, 20 Agustus 2007

kabar gembira: ada yang nikah...

Bulan Juli lalu, beberapa orang anggota Ikpi Jogja berangkat ke Sragen, untuk menghadiri acara pernikahan salah seorang anggota Ikpi Malang, Rahmat Aminullah. Am mempersunting wanita asal Sragen pada tanggal 07/07/07 (untung acaranya gak ikutan jam 7, tar jadi rekor nasional).

Pernikahan tersebut selain dihadiri keluarga, juga beberapa teman dan sahabat (Ikpi) dari Jogja, Malang dan Solo. Uih, acaranya rame banget poko'ee. Yang asyiknya lagi, teman-teman dari Jogja datangnya pake motor. Start dari Jogja jam 10:00 malam, nyampe Solo jam 11:30. Akhirnya, mereka (numpang) nginap dulu di Solo sekalian ketemu keluarga Ikpi solo. Walaupun malam itu semuanya pada gak tidur (habis pada maen ketrambol!!!) tapi teteep, kuat (sekitar 60 km bo... gak tidur n pake berhenti). Pokonya seru banget lah...

Ni dia foto-fotonya:


1. ini namanya "Singang", masakan paling ueenak sedunia. mampir di Solo, tak lupa menyantap singang yang di masak Ikpi Solo. uih, sedep beneer...
2. Sesampainya di sragen, istirahat sejenak menghirup udara pagi. kaya personil anak-anak Band ya?
3. tiba di Solo jam 11:30. mampir dulu makan di Angkringan. tapi jujur, Angkringan Jogja kayanya lebih enak deh...
4. ni dia, malam sebelum ke Sragen, semuanya pada maen Kerambol. gak tidur bo!!!


1. anak-anak jogja foto bareng Am dan istrinya
2. wah.. aya Tima khidmat menyaksikan prosesi akad nikah. jadi terharu!!
3. ni dia anak-anak ikpi jogja. masuk ke acara inti bo!. makan... makan... dan makan... yuk...!
4. perjalan ke lokasi acara. cekep-cakep kan?
(narsis abiiez!)

Senin, 13 Agustus 2007

Hermeneutika

JIKA anda membaca tulisan ini, dan berharap menemukan definisi dari kata “hermeneutika” di dalamnya, anda keliru. Tulisan ini bukan tentang itu. Saya tidak akan berbicara tentang definisi, atau setidaknya memaparkan gagasan para pemikir hermeneutika modern, seperti F. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Rudolf Bultmann, George Gadamer, Betti, Jurgen Habermas, ataupun Paul Ricoeur. Tidak! Sejenak, saya hanya ingin mengajak anda berfikir. Itu saja.

Di dunia seperti apakah kita hidup saat ini? Apakah kita terjebak dalam globalisasi yang menelurkan budaya pop? budaya yang–sebagaimana dikatakan Adorno–selalu menampilkan wajah kepopuleran yang penuh antagonis. Ataukah di zaman simbolisme? Generasi saat ini seolah beramai-ramai menyematkan simbol di dadanya. Anak-anak muda gemar “meniru” gaya tertentu: punk, pop, gaul, metro, dll. Atau jangan-jangan kita malah hidup di tengah arus “tanpa realitas” (hiperrealitas)? Dunia yang sudah tidak lagi memiliki realitas dalam dimensi ruang dan waktu; semuanya menjadi serba cyber, dan virtual. Simbol, tanda, prilaku, teks, yang katanya merepresentasikan realitas, dianggap bukanlah realitas itu sendiri. Entahlah! Yang jelas kini semuanya terasa terdistorsi…
Saya rasa, manusia adalah makhluk yang selalu ingin memahami (sejarah) masa lalu dan masa kininya. Namun untuk memahami “tindakan yang mengandung makna” tersebut, tidak dapat dibahas begitu saja berdasarkan metode ilmu-ilmu alam; akan tetapi melalui hermeneutika. Salah satu cara hermeneutika mempelajari masa lalu adalah melalui tulisan (teks). Namun pada perkembangannya, “teks” tidak lagi dimakani sebatas bahasa tulisan semata, akan tetapi berkembang dalam pengertian luas, seperi; tanda, simbol, ritual keagamaan, karya sastra, sejarah, psikologi dan lainnya.
Kini “tindakan yang bermakan”, seperti; tanda, simbol, sastra, sejarah, dll. itu juga dianggap sebagai teks. Karena tindakan yang bermakna tersebut memiliki karakter yang sama dengan “teks”, yang maknanya harus ditafsirkan.

Akan tetapi dalam menafsirkan masa lalunya melalui “teks”, pemahaman manusia selalu terbatas oleh cakrawalanya (horizon); terbatas oleh konteks sejarah di mana dan kapan dia hidup. Manusia senantiasa terjebak dalam kecenderungan cara pandangnya di masa kini. Maka dalam hal ini, menurut Dilthey (1833-1911), di sinilah pentingnya hermeneutika sebagai metode penafsiran. Di mana “makna” tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial-historisnya. Ya, saya setuju dengan ini…
Dalam menafsirkan sesuatu, manusia menghadapi dua permasalahan sentral, yaitu: (1) bagaimana mencapai kebenaran (obyektif), dan (2) terkait masalah prosedur penafsiran. Nah, bagaimana sebenarnya metode hermeneutika menjelaskan hal ini? Lantas apakah hermeneutika juga bertujuan mencapai penafsiran yang obyektif akan sebuah “teks”? atau ia hanya sebatas cara mendeskripsikan Dasein dalam temporalitas dan historikalitasnya? Lagi-lagi, saya tidak akan menjelaskan hal itu. Saya rasa anda bisa mempelajarinya sendiri. Anda pun bisa membuka lembar demi lembar halaman buku para pemikir yang saya sebutkan tadi. Itu pun jika anda mau, bukan?
Manakah yang disebut riil itu? Apakah tindakan yang bermakna, seperti teks, simbol, tanda, sastra, ritual keagamaan, sejarah, dan lainnya itu adalah sesuatu yang riil, atau setidaknya merepresentasikan realitas? Jika Hassan Hanafi mengatakan bahwa itu semua hanyalah sebuah “teks” yang menggambarkan realitas, dan bukan realitas itu sendiri, lantas yang mana yang disebut riil itu? O, rupanya anda mulai berfikir sekarang. Maafkan jika sedikit mengernyitkan dahi anda. Teruskanlah! Anda akan menemukan jawabannya. Tapi ingat, semakin anda ingin mencari tahu, anda akan menyadari, semakin dalam pula yang harus anda selami. Itu wajar, setidaknya anda bisa belajar, bukan? Nikmati sajalah hal tersebut!

Oleh: Faris alfadh

Selasa, 26 Juni 2007

Melihat Geliat Perbukuan Kota Pelajar

–Oleh: Faris Alfadh*

Pada tanggal 11-18 Mei 2007 lalu, geliat Yogyakarta sebagai kota pendidikan kembali dimeriahkan dengan perhelatan Festival Buku (Book Fair). Pameran bertema “Segalanya Mungkin Dengan Buku” tersebut diselenggarakan oleh Buka Buku Production di GOR Universitas Negeri Yogyakarta, dan didukung lebih dari 200 penerbit.
Event pameran seperti ini memang bukanlah yang pertama di tahun 2007. Beberapa hari sebelumnya, pameran serupa juga digelar di Jogja Expo Centre, serta Gedung Mandala Bakti Wanitatama di Jl. Marsda Adisucipto. Bisa dibilang Pameran Buku sudah menjadi rutinitas Jogja–yang terkadang dalam sebulan pelaksanaannya bisa dua sampai tiga kali.
Selain dikarenakan banyaknya penerbit; major maupun indie, serta didukung penulis-penulis prolifik, faktor yang semakin mengukuhkan landmark Jogja sebagai kota pendidikan (pelajar) adalah event-event pameran buku yang rutin diadakan. Biasanya moment seperti ini selalu menyedot perhatian para pelajar, mahasiswa maupun masyarakat umum. Nuansa khas inilah yang sedikit membedakan Jogja dengan kota-kota “pelajar” lainnya.
Mengamati para pengunjung pameran, yang datang terbilang fariatif. Ada yang karena memang niat membeli buku, ada yang hanya mencari buku-buku murah ataupun memburu buku-buku lama (langka), ada juga yang sekedar datang jalan-jalan sambil ngeceng. Yang jelas event Pameran Buku di Jogja selalu membeludak. Dalam sehari ratusan exemplar buku bisa terjual. Tentu, publikasi dan format acara sangat menentukan dalam menjaring pengunjung. Biasanya yang selalu dinanti para pengunjung adalah buku-buku murah dengan diskon gede-gedean.
Harus saya akui, buku-buku denga penawaran harga murah memang menggiurkan dan menjadi daya tarik tersendiri sebuah pameran. Terutama para pelajar dan mahasiswa yang kondisi kantongnya terbatas.
Selama diadakannya beberapa pameran buku di Jogja, ada hal menarik yang saya amati, yakni munculnya fenomenea Yusuf Agency. Di antara sekian banyak stand yang ada, saya selalu mendapatkan stand Yusuf Agency yang menawarkan buku-buku murah, dengan kualitas yang tidak kalah. Harga yang ditawarkan begitu murah, berkisar antara Rp 5.000 hingga Rp 20.000. Menariknya, Yusuf Agency, tidak seperti stand-stand lainnya yang tertata, dengan pengaturan buku yang rapi. Ia membiarkan saja buku-bukunya “berserakan” dan disusun bertumpuk-tumpuk sesukanya. Pengunjung dibiarkan membongkar sendiri buku-buku yang mereka cari. Seolah mereka berada dalam labirin pengetahuan.
Tetapi karena harga yang begitu murah, pengunjung rela saja berlama-lama duduk, jongkok maupun berdiri membongkar-bongkar tumpukan buku yang ada. Teman saya yang kebetulan ikut memburu buku-buku murah kemudian mengatakan, “justru di sinilah letak seni membeli buku”.
Buku-buku yang ditulis penulis prolifik seperti Khaled Abou El Fadl, Edward W Said, Jefrey Lang, Farid Esach, Jean Paul Satre, Anthony Giddens hingga Abdul Munir Mulkhan, dijual relatif murah. Buku yang seharusnya di pasaran mencapai Rp 30.000 sampai Rp 60.000, dijual Yusuf Agency hanya dengan Rp 10.000 hingga Rp 20.000. Betapa menggiurkan! Pak Yusuf, sang pemilik, mengaku memiliki rahasia tersendiri kenapa buku-buku yang ia jual bisa begitu murah.
Namun fenomena Yusuf Agency dengan buku-buku murahnya bukannya tidak menimbulkan dilema. Pembeli buku terutama para bookaholic tentu diuntungkan. Tetapi tidak demikian dengan para penulis. Bayangkan saja, karya yang mereka hasilkan dengan susah payah harus dijual sedemikian murahnya. Tentu tidak menyenangkan. Namun inilah fenomena perbukuan kita.
Keberhasilan Jogja dalam menyelenggarakan setiap event pameran selama ini, selain dikarenakan diskon buku besar-besaran, juga tidak terlepas dari format acara yang dikemas menarik, asyik dan renyah. Book Fair pada 11-18 Mei lalu juga demikian. Selain berbagai jenis lomba, Bedah Buku, dan Talkshow, pameran tersebut juga dimeriahkan banyak artis untuk mengisi Seleb Talk, seperti Baim Wong, Melani Subono, Andre Hehanusa, Moamar Emka, Happy Salma, Ira Wibowo dan Katon Bagaskara.
Sayang, Book Fair yang diselengarakan di lingkungan akademis tersebut sedikit tercoreng dengan adanya diskriminasi terhadap kehadiran Merlyn Sopian, mantan Miss Waria Indonesia 2006. Penulis buku Perempuan Tanpa V itu sebenarnya dijadwalkan hadir dalam Talkshow dan jumpa penulis pada rabu malam 16/5. Tetapi ia mendapat larangang dari pihak kampus dengan alasan yang “tidak jelas”.
Kita perlu menyadari bahwa sejarah dunia adalah sejarah buku, berbagai perubahan yang terjadi banyak dilahirkan dari buku. Buku menjadi indikator kemajuan dan jendela peradaban sebuah bangsa. Maka upaya melestarikan budaya membaca buku harus tetap kita dukung bersama.
*Faris Alfadh
Mantan Ketua IKPI Jogja