JIKA anda membaca tulisan ini, dan berharap menemukan definisi dari kata “hermeneutika” di dalamnya, anda keliru. Tulisan ini bukan tentang itu. Saya tidak akan berbicara tentang definisi, atau setidaknya memaparkan gagasan para pemikir hermeneutika modern, seperti F. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Rudolf Bultmann, George Gadamer, Betti, Jurgen Habermas, ataupun Paul Ricoeur. Tidak! Sejenak, saya hanya ingin mengajak anda berfikir. Itu saja.
Di dunia seperti apakah kita hidup saat ini? Apakah kita terjebak dalam globalisasi yang menelurkan budaya pop? budaya yang–sebagaimana dikatakan Adorno–selalu menampilkan wajah kepopuleran yang penuh antagonis. Ataukah di zaman simbolisme? Generasi saat ini seolah beramai-ramai menyematkan simbol di dadanya. Anak-anak muda gemar “meniru” gaya tertentu: punk, pop, gaul, metro, dll. Atau jangan-jangan kita malah hidup di tengah arus “tanpa realitas” (hiperrealitas)? Dunia yang sudah tidak lagi memiliki realitas dalam dimensi ruang dan waktu; semuanya menjadi serba cyber, dan virtual. Simbol, tanda, prilaku, teks, yang katanya merepresentasikan realitas, dianggap bukanlah realitas itu sendiri. Entahlah! Yang jelas kini semuanya terasa terdistorsi…
Saya rasa, manusia adalah makhluk yang selalu ingin memahami (sejarah) masa lalu dan masa kininya. Namun untuk memahami “tindakan yang mengandung makna” tersebut, tidak dapat dibahas begitu saja berdasarkan metode ilmu-ilmu alam; akan tetapi melalui hermeneutika. Salah satu cara hermeneutika mempelajari masa lalu adalah melalui tulisan (teks). Namun pada perkembangannya, “teks” tidak lagi dimakani sebatas bahasa tulisan semata, akan tetapi berkembang dalam pengertian luas, seperi; tanda, simbol, ritual keagamaan, karya sastra, sejarah, psikologi dan lainnya.
Kini “tindakan yang bermakan”, seperti; tanda, simbol, sastra, sejarah, dll. itu juga dianggap sebagai teks. Karena tindakan yang bermakna tersebut memiliki karakter yang sama dengan “teks”, yang maknanya harus ditafsirkan.
Akan tetapi dalam menafsirkan masa lalunya melalui “teks”, pemahaman manusia selalu terbatas oleh cakrawalanya (horizon); terbatas oleh konteks sejarah di mana dan kapan dia hidup. Manusia senantiasa terjebak dalam kecenderungan cara pandangnya di masa kini. Maka dalam hal ini, menurut Dilthey (1833-1911), di sinilah pentingnya hermeneutika sebagai metode penafsiran. Di mana “makna” tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial-historisnya. Ya, saya setuju dengan ini…
Dalam menafsirkan sesuatu, manusia menghadapi dua permasalahan sentral, yaitu: (1) bagaimana mencapai kebenaran (obyektif), dan (2) terkait masalah prosedur penafsiran. Nah, bagaimana sebenarnya metode hermeneutika menjelaskan hal ini? Lantas apakah hermeneutika juga bertujuan mencapai penafsiran yang obyektif akan sebuah “teks”? atau ia hanya sebatas cara mendeskripsikan Dasein dalam temporalitas dan historikalitasnya? Lagi-lagi, saya tidak akan menjelaskan hal itu. Saya rasa anda bisa mempelajarinya sendiri. Anda pun bisa membuka lembar demi lembar halaman buku para pemikir yang saya sebutkan tadi. Itu pun jika anda mau, bukan?
Manakah yang disebut riil itu? Apakah tindakan yang bermakna, seperti teks, simbol, tanda, sastra, ritual keagamaan, sejarah, dan lainnya itu adalah sesuatu yang riil, atau setidaknya merepresentasikan realitas? Jika Hassan Hanafi mengatakan bahwa itu semua hanyalah sebuah “teks” yang menggambarkan realitas, dan bukan realitas itu sendiri, lantas yang mana yang disebut riil itu? O, rupanya anda mulai berfikir sekarang. Maafkan jika sedikit mengernyitkan dahi anda. Teruskanlah! Anda akan menemukan jawabannya. Tapi ingat, semakin anda ingin mencari tahu, anda akan menyadari, semakin dalam pula yang harus anda selami. Itu wajar, setidaknya anda bisa belajar, bukan? Nikmati sajalah hal tersebut!
Oleh: Faris alfadh